Waktu terus berjalan. Aidan berusaha keras mengubah nasibnya. Dia bekerja siang malam, belajar tanpa henti untuk meraih masa depan yang lebih baik. Setiap malam, dia mengirim surat tanpa nama ke alamat Lila, berharap suatu saat Lila membacanya dan mengerti perasaannya.
Sementara itu, Lila terjebak dalam hidup yang penuh aturan dan batasan. Dia dipaksa menikah dengan pria pilihan keluarganya, yang jauh dari cintanya. Setiap detik di sisinya terasa seperti neraka, namun dia tak punya kekuatan untuk melawan.
Suatu hari, ketika hujan turun deras, Lila menemukan surat-surat Aidan di laci meja kerjanya. Tangannya gemetar saat membaca kata demi kata, tiap kalimat membawa kenangan yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Hari Pernikahan yang Pahit
Hari pernikahan Lila tiba. Aidan yang mendengar kabar itu mencoba datang, tapi dilarang masuk. Dia hanya bisa berdiri jauh, menatap perempuan yang dicintainya berdiri di altar dengan orang lain.
Lila menatap ke arah jendela, membayangkan wajah Aidan, merasakan kehadirannya meski tidak nyata. Air matanya tumpah, mengalir di balik senyum yang dipaksakan.
Setelah upacara selesai, Lila melarikan diri ke taman yang dulu mereka sering kunjungi. Di sana, dia menangis tersedu-sedu, meratapi nasib yang kejam.
Kehilangan dan Kesedihan yang Dalam
Bertahun-tahun kemudian, Aidan telah menjadi pria sukses. Dia kembali ke kota kecil itu, berharap bertemu Lila sekali lagi. Namun, yang dia temukan adalah kabar bahwa Lila telah pergi meninggalkannya selamanya, karena sakit yang tak terobati.