Berita Utama & Headline

Pengusiran Wartawan di DPRD Sumut, Pengamat: Tamparan Bagi Demokrasi dan Kebebasan Pers

0
×

Pengusiran Wartawan di DPRD Sumut, Pengamat: Tamparan Bagi Demokrasi dan Kebebasan Pers

Sebarkan artikel ini
Aktivis dan pengamat politik, Dr. Shohibul Anshor Siregar, Drs., M.Si, Sabtu (20/9/2025). (kedannews.co.id/Foto: Istimewa).

Medan, kedannews.co.id – Insiden pengusiran wartawan kembali menyisakan luka di kalangan jurnalis. Sekretaris Komisi E DPRD Sumut, Edi Surahman Sinuraya, dinilai bersikap arogan terhadap seorang wartawan Mistar saat pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dinas Pendidikan Sumut di Ruang Komisi E, Senin (15/9/2025).

Peristiwa itu bermula ketika wartawan Mistar baru saja masuk ke ruang rapat untuk meliput jalannya pertemuan. Namun, Edi Surahman Sinuraya dengan nada tinggi mengusir wartawan tersebut.

“Kamu siapa? Kamu siapa? Ngapain kamu di sini?” ucap Edi sambil berdiri dari kursi pimpinan rapat dan mendongakkan kepala, sembari meminta wartawan Mistar keluar dengan nada keras.

Tindakan tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari aktivis dan pengamat politik, Dr. Shohibul Anshor Siregar, Drs., M.Si, yang menilai pengusiran itu mencederai demokrasi.

“Pengusiran wartawan oleh anggota DPRD Sumut dalam rapat dengan Dinas Pendidikan adalah tamparan bagi demokrasi. Wartawan hadir karena tidak ada pemberitahuan rapat tertutup. Ia hanya menjalankan mandat konstitusional pers: mencari dan menyampaikan informasi publik. Tindakan mengusir dengan cara arogan bukan sekadar persoalan etika, melainkan berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40/1999,” ujar Shohibul kepada wartawan, Sabtu (20/9/2025).

Shohibul menegaskan, argumentasi bahwa rapat bersifat tertutup tidak bisa dijadikan alasan. Menurutnya, prosedur penutupan rapat harus jelas dan diumumkan sejak awal. “Tanpa itu, pengusiran hanya menunjukkan sikap sewenang-wenang. DPRD sebagai representasi rakyat justru memperlihatkan wajah tertutup, padahal fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran hanya sah bila dikawal publik, termasuk melalui media,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menilai sikap arogan anggota DPRD tersebut memperlihatkan rendahnya penghormatan terhadap pers. Padahal, kata Shohibul, pers bukan musuh melainkan mitra demokrasi.

“Partai Golkar memang harus memanggil Edi, tetapi teguran saja tidak cukup. Dibutuhkan sanksi nyata dan perbaikan prosedur internal DPRD agar kejadian serupa tidak terulang,” ucapnya.

Shohibul juga menegaskan bahwa kebebasan pers bukan hanya hak jurnalis, tetapi juga hak publik untuk tahu. “Setiap kali pejabat publik menghalangi kerja pers, yang dirampas bukan hanya kemerdekaan wartawan, tetapi juga hak rakyat atas informasi. Demokrasi tanpa keterbukaan hanyalah formalitas, dan keterbukaan hanya hidup bila pers dibiarkan bekerja tanpa intimidasi,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *