Maka bangunan koalisi biasanya akan cepat dan mudah terbentuk jika kadernya yang menjadi pasangan calon. Partai politik yang mengusung kadernya akan berinisiatif untuk melobi partai lain membentuk koalisi.
Dan lazimnya bagi partai politik yang kadernya tidak menjadi pasangan calon yang diusung, tentu bersedia ikut berkoalisi jika kepentingannya diakomodir. Apa itu? Tentu tergantung kesepakatan, bisa daya tawar posisi kekuasaan di kemudian hari ketika telah memenangkan pemilihan. Atau bahkan bisa saja mendapatkan “kapital” yang dianggap sebagai sebuah cost politic .
Dalam khasanah politik Indonesia, baik di Era Orla, Era Orba maupun Era Reformasi dewasa ini, kepentingan seperti apa yang diinginkan oleh suatu partai, maka hal itu masih menjadi domain ketua umum partai atau beberapa partai menetapkan merupakan domain ketua dewan pembina/syuro.
Dengan subjektivitas maupun objektivitas yang ia miliki, ketua umum atau ketua dewan pembina/syuro masing-masing partai akan menentukan arah koalisi dan pasangan calon pemimpin yang didukungnya.
Terlepas dari analisa di atas, ada sebuah fenomena yang berlaku di masyarakat “orang akan mendukung yang berpeluang menang”. Dan fenomena ini acap digunakan partai politik dalam menentukan arah koalisi.
Itulah mengapa pooling dan hasil survei menjadi instrumen penting saat ini dalam kontestasi dan dinamika politik Hasil survei saat ini bukan semata menggambarkan sebuah kemungkinan perolehan suara. Tetapi lebih dari itu bisa mempengaruhi subjektivitas dan objektivitas para ketua umum atau ketua dewan pembina/syuro dalam menentukan arah koalisi. Bahkan lebih dari itu, hasil survei bisa “menggiring” opini publik karena itu tadi ada naluri manusia tak ingin mendukung calon yang kalah.