Medan, kedannews.co.id – Vonis kontroversial yang dijatuhkan Hakim Eka Kurnia Nengsih dalam perkara pengeroyokan di Pengadilan Negeri Curup, Bengkulu, memicu gelombang kritik publik. Salah satu pelaku yang masih berstatus anak hanya dihukum kerja sosial selama 60 jam membersihkan masjid dan membayar restitusi sebesar Rp300 ribu, meskipun korban menderita kelumpuhan permanen seumur hidup.
Ahli hukum dan praktisi senior, Dr. Mikrot, SH., MH., mengaku prihatin dan mengecam keras putusan tersebut. Dalam wawancara khusus dengan wartawan kedannews.co.id di Rumah Hukum Benteng Keadilan, Perumahan Menteng, Kota Medan, Sabtu (21/6/2025), ia menyebut vonis itu sebagai bentuk penyimpangan rasa keadilan.
“Sebagai praktisi hukum, saya sangat prihatin. Ini bukan inovasi, tapi kesengajaan yang mencederai prinsip keadilan. Vonis 60 jam kerja sosial tidak sebanding dengan penderitaan korban,” kata Dr. Mikrot tegas.
Menurutnya, vonis tersebut telah melanggar prinsip proporsionalitas dalam hukum pidana, terutama dalam konteks sistem peradilan anak yang mengedepankan restorative justice. Ia menilai bahwa hakim terlalu fokus pada pelaku, sementara penderitaan korban nyaris diabaikan.
“Restoratif justice seperti ini seolah hanya berpihak pada pelaku. Korban dan keluarganya justru harus menanggung derita seumur hidup,” jelasnya.
Dalam kasus yang sama, dua pelaku menerima vonis berbeda. Pelaku utama dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan membayar restitusi sebesar Rp90 juta. Namun, pelaku subsidiar yang statusnya anak hanya dihukum kerja sosial ringan dengan restitusi yang sangat kecil.
“Ini menciptakan disparitas mencolok dalam satu kasus. Komisi Yudisial sebaiknya segera turun tangan untuk mengkaji ulang putusan ini,” desak Dr. Mikrot.
Ia juga mempertanyakan efektivitas pelaksanaan hukuman kerja sosial tersebut. “Kalau terdakwa tidak menjalankan kerja sosial, bagaimana tindak lanjutnya? Sanksi pidana memang ada, tapi belum tentu diterapkan dengan tegas. Ini membuka ruang ketidakpastian hukum,” tegasnya.
Lebih jauh, Dr. Mikrot mengingatkan bahwa vonis-vonis seperti ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Ia menegaskan bahwa hakim seharusnya tidak hanya berpegang pada hukum positif, tetapi juga harus menjunjung tinggi asas keadilan dan kemanusiaan.
“Putusan ini bukan hanya tak adil, tapi juga melemahkan kepercayaan publik pada sistem hukum. Hakim memang bebas memutus, tapi kebebasan itu wajib digunakan dengan bijaksana dan bertanggung jawab,” pungkasnya.
Menurut Mikrot, bukan pembaruan hukum yang dibutuhkan saat ini, melainkan pembaruan cara berpikir para hakim dalam menafsirkan keadilan.
“Setiap putusan pengadilan selalu diawali dengan kalimat: ‘Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Maka keadilanlah yang seharusnya jadi roh dalam setiap vonis,” tutupnya dengan nada serius.












