Medan, kedannews.com – Sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa selebgram Ratu Entok alias Ratu Thalisa (ISPL) kembali digelar pada Senin siang (13/1/2025) di Pengadilan Negeri Medan, Ruang Cakra 8. Sidang kali ini beragendakan pemeriksaan saksi.
Dalam persidangan, Ratu Entok, terdakwa dalam kasus ini, memberikan tanggapan tegas terhadap kesaksian yang disampaikan oleh saksi-saksi yang dihadirkan oleh pihak jaksa. Dalam pembelaannya, Ratu Entok menyatakan bahwa banyak pernyataan yang disampaikan oleh saksi tidak sesuai dengan kenyataan dan cenderung dipengaruhi oleh kepentingan tertentu.
Sidang perkara 2359/Pidsus/2024 yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Achmad Ukayat, SH., MH, dengan didampingi dua hakim anggota serta seorang panitera. Turut hadir tim kuasa hukum Ratu Entok yang diketuai oleh Wendy M. Tanjung, SH., MH, bersama Muhammad Faisal Ginting, SH., M.Hum, Faisal Arbi, SH., MH, Suyanto, SH, dan Erry Afrizal, SH. Sementara itu, JPU oleh Erning Kosasih, SH dan menghadirkan 6 saksi.
6 saksi tersebut diantaranya Thomson marasi Siparapat beragama kristen protestan, Dosma Roha Sijabat beragama kristen protestan, Roi Desman Nainggolan beragama kristen, Dedi Mauriz Simanjuntak beragama kristen Protestan, Martono beragama islam, Swangro lumbanbatu.
Sebelum memberikan kesaksian saksi-saksi yang beragama kristen diambil janji sedangkan saksi yang beragama Islam diambil sumpah dihadapan hakim.
Untuk bersaksi awal yakni Dosma Roha Sijabat, Thomson marasi Siparapat, Dedi Mauriz Simanjuntak
Thomson Marasi Siparapat hadir sebagai saksi pelapor dan memberikan keterangannya di hadapan majelis hakim.
Hakim Bertanya Soal Laporan
Dalam persidangan, hakim bertanya kepada Thomson mengenai keterlibatannya sebagai pelapor. “Saudara bertiga sebagai pelapor?” tanya hakim. Thomson menjawab, “Saya melaporkan pada 4 Oktober 2024.”
Ketika ditanya apa yang dilaporkannya, Tomson menjelaskan, “Terkait adanya video TikTok dari akun bernama @ratuentokglowskincare.” Hakim kemudian menegaskan, “Jadi saudara melaporkan akun TikTok?” Thomson menjawab, “Saya melaporkan pemilik akun TikTok.”
Dugaan Penghinaan Agama
Thomson mengungkapkan alasan pelaporannya. Menurutnya, akun tersebut menampilkan konten yang menghina agama Kristen, khususnya dengan menampilkan gambar Yesus Kristus yang dianggap menghina. “Sebagai seorang Nasrani, saya merasa Tuhan Yesus dihina dan diolok-olok,” jelas Thomson.
Hakim bertanya apakah Thomson melihat langsung gambar tersebut. Ia menjawab, “Saya melihatnya.” Namun, ketika ditanya apakah ia mengikuti akun TikTok tersebut, Tomson mengatakan tidak, dan bahwa informasi itu diperolehnya dari seorang sahabat bernama Dedi Mauriz Simanjuntak.
Kronologi Informasi
Thomson menjelaskan bahwa ia mendapat informasi pertama kali dari Dedi pada 3 Oktober 2024. Dedi memberitahukan bahwa ada video TikTok yang menghina Tuhan Yesus. “Sebagai Ketua Horas Bangso Batak (HBB) Sumatera Utara, saya merespon informasi itu dengan sangat emosional, tetapi saya menahan diri untuk memastikan kebenarannya terlebih dahulu,” ujar Thomson.
Koordinasi dengan Anggota HBB
Thomson melanjutkan bahwa setelah menerima informasi, ia sempat menerima telepon dari seorang ulama bernama Ustad Martono yang juga tergabung dalam grup WhatsApp HBB. Grup tersebut menjadi ramai dengan diskusi terkait video tersebut. “Anggota grup saya marah besar, tapi saya meminta mereka tetap tenang dan menegaskan bahwa kita harus melapor sesuai hukum,” ujar Thomson.
Respon Pemilik Akun TikTok
Saat ditanya hakim apakah ada klarifikasi dari pemilik akun TikTok, Thomson menjelaskan bahwa pemilik akun sempat melakukan siaran langsung untuk membantah tuduhan. “Dia malah menantang dan membantah bahwa tidak ada penghinaan dalam videonya,” jelas Thomson.
saksi utama, Dosma Roha Sijabat. Saksi ini juga merupakan pelapor dalam kasus yang melibatkan dugaan penistaan agama oleh terdakwa.
Dalam persidangan, hakim meminta Dosma untuk menjelaskan apa yang diketahui terkait perkara ini. Saksi menyatakan bahwa pada tanggal 2 Oktober, ia melihat secara langsung unggahan Ratu Entok yang berdurasi sekitar 47 detik. Dalam unggahan tersebut, Ratu Entok diduga menanggapi pertanyaan seorang netizen mengenai gendernya dengan membandingkan dirinya dengan foto Tuhan Yesus.
Pernyataan Saksi tentang Unggahan Terdakwa
Dosma menjelaskan bahwa unggahan tersebut memuat elemen yang sangat sensitif, yaitu foto Tuhan Yesus dengan lambang hati kudus yang sakral bagi umat Nasrani. “Saya sangat kecewa, karena dalam agama kami, lambang hati kudus sangat sakral. Namun, terdakwa mengomentari hal tersebut dengan nada yang menghina,” ujarnya.
Saksi juga menuturkan bahwa dalam video tersebut, terdakwa memegang ponsel di tangan kanan dan menampilkan gambar Tuhan Yesus secara penuh, dari kaki hingga kepala. “Yang membuat saya geram adalah saat terdakwa menirukan suara seperti binatang sambil menyatakan bahwa Yesus seharusnya memotong rambutnya,” tambah Dosma.
Hakim Menyoroti Kerugian yang Ditimbulkan
Ketika hakim menanyakan siapa yang dirugikan oleh unggahan tersebut, Dosma menegaskan bahwa kerugian dirasakan oleh umat Kristen secara umum. “Sebagai pengurus gereja, saya merasa bahwa ini adalah penghinaan terhadap simbol sakral agama kami. Ini melanggar undang-undang ITE,” jelasnya.
Saksi juga mengungkapkan bahwa ia sempat mencoba menyelesaikan masalah ini secara baik-baik dengan mendatangi rumah terdakwa pada 5 Oktober. Dalam pertemuan tersebut, terdakwa sempat meminta maaf, namun situasi kembali memanas setelah unggahan lain yang dianggap menghina Tuhan Yesus muncul sehari setelahnya.
Tanggapan Terdakwa yang Memperkeruh Situasi
Dosma menyebutkan bahwa terdakwa menunjukkan afiliasinya dengan organisasi bernama Asosiasi Apologi Islam Indonesia (API) dan mengindikasikan adanya dukungan untuk membela dirinya. “Saya meminta agar masalah ini diselesaikan dengan hati-hati dan tidak memperkeruh suasana, tetapi justru terjadi sebaliknya,” kata Dosma.
Dalam sidang kasus yang melibatkan sosok Ratu Entok, Dedi Mauriz Simanjuntak hadir sebagai saksi dan memberikan keterangan di hadapan majelis hakim. Ia mengaku dari organisasi Pemuda Batak Bersatu (PBB) dalam melaporkan sebuah video viral yang dianggap meresahkan.
Hakim menanyakan asal-usul Dedi sebagai saksi. “Dari mana?” tanya hakim. Dedi menjawab, “Dari organisasi Pemuda Batak Bersatu.”
Hakim kemudian menanyakan apa yang dilaporkan oleh Dedi dan organisasinya. Dedi menjelaskan, “Yang saya laporkan adalah terkait dengan adanya video viral yang tersebar di grup kami di Sumatera Utara dan bahkan di seluruh dunia. Ketua-ketua kami memerintahkan untuk mengajukan laporan terkait hal ini.”
Hakim menggali lebih lanjut dengan menanyakan isi video tersebut. “Yang tersebar itu berupa postingan?” tanya hakim. Dedi membenarkan, “Iya, berupa video langsung, Pak.” Ia menambahkan bahwa video tersebut menampilkan sesuatu yang dianggap sensitif, yaitu gambar sakral Yesus Kristus yang digunakan dalam konteks yang tidak pantas. “Di video itu, terlihat seseorang dengan handphone sambil mengatakan ‘cukur-cukur’.”
Hakim juga menanyakan apakah Dedi mengetahui komentar yang ada di video tersebut. “Saudara tahu nggak bahwa di postingannya itu ada komentar yang masuk?” Dedi menjawab, “Saya tidak melihat komentar, Pak, karena video yang saya terima adalah video mentah. Namun, video itu sudah menyebar luas hingga ke berbagai negara, termasuk Amerika, Malaysia, dan Indonesia.”
Dedi menegaskan bahwa perintah untuk melaporkan video itu datang langsung dari Ketua Umum Pemuda Batak Bersatu wilayah Sumatera Utara. “Sebagai Ketua DPD Sumatera Utara, saya mewakili organisasi untuk membuat laporan ini,” ujarnya.
Dalam persidangan kasus Ratu Entok yang tengah berlangsung, saksi Thomson Marasi Siparapat memberikan kesaksiannya terkait penggunaan foto yang dianggap menyinggung simbol religius umat Kristiani. Sidang yang diwarnai dengan perdebatan ini mengungkap kronologi dan latar belakang tindakan terdakwa.
Hakim membuka persidangan dengan menanyakan kepada saksi tentang ciri khas pada gambar yang dianggap sebagai foto Yesus. Thomson menjelaskan, “Di dalam gambar itu, terlihat wajah Yesus Kristus dengan simbol hati kudus yang bercahaya. Kami percaya itu adalah simbol kekristenan yang suci.”
Hakim melanjutkan pertanyaan dengan menanyakan apakah simbol tersebut menjadi alasan saksi menyatakan gambar itu sebagai foto Yesus. “Betul,” jawab Thomson dengan tegas. Ia juga menyinggung bagaimana komentar atau pernyataan terdakwa dianggap menyinggung iman Kristiani. “Yang saya dengar adalah suara mengolok-olok Tuhan kami dan merendahkan,” tambahnya.
Dalam kesaksiannya, Thomson menjelaskan bahwa postingan tersebut masih terlihat satu hingga dua hari setelah dilaporkan, sebelum akhirnya dihapus oleh terdakwa.
Kesaksian Dosma Roha Sijabat
Saksi lain, Dosma Roha Sijabat, turut memberikan keterangan terkait asal-usul pernyataan terdakwa. Ia mengungkap bahwa sebelum terdakwa memiliki pendamping hukum, ia secara langsung bertanya kepada terdakwa tentang maksud dari unggahan tersebut. “Saya tanya apa tujuanmu membuat postingan itu? Terdakwa menjawab bahwa itu terkait pemahaman agama, tetapi saya menegaskan bahwa mengolok-olok kepercayaan orang lain tidak dibenarkan,” ujar Dosma.
Dosma juga mengungkap adanya kebingungan masyarakat sekitar terkait identitas gender terdakwa. “Ada warga yang mempertanyakan gender terdakwa sebelum kasus ini. Saat ditanya, terdakwa mengaku sudah melakukan operasi sebelum pandemi COVID-19,” jelasnya.
Pertanyaan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Erning Kosasih turut mendalami detail kasus dengan menanyakan reaksi saksi terhadap unggahan terdakwa. “Apakah kalian keberatan dengan foto Yesus Kristus dan simbol hati kudus yang bersinar itu?” tanyanya. Thomson dan Dosma menyatakan keberatan.
JPU juga menyoroti pembelaan terdakwa yang mengklaim bahwa foto tersebut merupakan hasil pencarian internet. Namun, saksi menegaskan bahwa pencarian dengan kata kunci “laki-laki gondrong” tidak akan menghasilkan gambar Yesus Kristus. “Saya membuktikan langsung di depan terdakwa, dan hasilnya tidak muncul foto Yesus,” tegas Thomson.
Konteks Keimanan dan Sensitivitas
Saksi juga mengungkap dialog pribadi dengan terdakwa, yang menyatakan pernah beragama Kristen sebelum menjadi mualaf. “Saya sampaikan, jika sudah memeluk Islam, jalani saja agama itu. Tetapi, tidak seharusnya mencela agama lain,” tutur Dosma.

Kuasa hukum terdakwa dalam kasus dugaan penghinaan agama, yang dikenal sebagai “Ratu Entok,” menggali keterangan dari saksi pelapor, Dosma Sijabat, dalam persidangan yang berlangsung kemarin. Sesi tersebut berfokus pada kronologi pelaporan, lokasi kejadian, serta simbolisme agama yang dipermasalahkan dalam kasus ini.
Kronologi Pelaporan dan Pertemuan
Dalam keterangannya, Dosma mengungkapkan bahwa laporan dibuat pada 4 Januari sekitar pukul 23.00 WIB. Setelahnya, ia mengunjungi rumah terdakwa pada 5 Januari bersama lima orang lainnya. “Saya domisili di Bandung, tapi kantor saya ada di Jalan Iskandar Muda. Pada saat menerima video terkait kasus ini, saya berada di Medan sejak 1 Januari,” jelasnya.
Kuasa hukum kemudian mempertanyakan siapa saja yang hadir dalam kunjungan tersebut. Saksi menyebutkan nama-nama, termasuk Magdalina yang memposting video pertama kali, serta beberapa anggota tim dari kantornya dan pihak terkait lainnya. Diskusi selama 1,5 hingga 2 jam tersebut, menurut saksi, berlangsung dengan pembahasan “mengalir tanpa fokus” terkait isu yang diangkat.
Respons Terdakwa
Saat ditanya tentang reaksi terdakwa terhadap kunjungan itu, saksi menjelaskan bahwa mereka datang atas undangan terdakwa yang memberikan lokasi melalui pesan singkat. “Kami datang sebagai tamu, jadi tidak ada respon yang bisa disimpulkan seperti marah atau tidak. Obrolan lebih banyak di antara tim lain,” ungkap Dosma.
Perdebatan Simbolisme Agama
Persidangan juga menyoroti aspek teologis dari dugaan penghinaan. Kuasa hukum bertanya mengenai foto dan simbol “Hati Kudus” yang menjadi inti laporan. Saksi menyatakan, “Saya melaporkan bukan sekadar foto Tuhan Yesus, tetapi foto dengan simbol hati kudus dan cahaya. Hal ini saya tekankan sebagai bagian dari laporan saya.”
Saat kuasa hukum menanyakan dasar hukum terkait simbol tersebut dalam Alkitab, saksi menjawab, “Hati Kudus adalah bagian dari iman yang dijelaskan dalam Alkitab. Namun, penjelasan detailnya adalah porsi ahli yang lebih kompeten.”
Tuduhan dan Unsur Pidana
Kuasa hukum juga mempertanyakan apakah kata “cukur,” yang diduga sebagai penghinaan, cukup untuk dijadikan landasan hukum. Saksi menjelaskan bahwa hal itu merupakan bagian dari rangkaian peristiwa yang menyebabkan keresahan di masyarakat, termasuk adanya komentar netizen yang memicu perdebatan lebih lanjut.
Hakim kemudian menanyakan kesaksian lain dari Dedi Mauriz, yang menyatakan bahwa ia mendapatkan konten yang dipermasalahkan melalui siaran langsung. Hakim mencoba memperjelas, “Betul maksudnya siaran langsung?”
Namun, terdakwa membantah, “Saya bukan live, tapi membalas kolom komentar. Dalam kolom komentar, saya tidak live. Saudara saksi mengatakan dia melihat video live saya, tapi saya tidak live untuk video yang didakwakan. Membalas kolom komentar itu berbeda dengan live,” tegas Ratu Entok.
Hakim pun mengklarifikasi kepada saksi Thomson Maasi Parapat. “Bukan live katanya, Pak Thomson?”
Saksi mengakui bahwa ia melihat konten tersebut melalui postingan yang dikirimkan oleh sahabatnya, bukan melalui siaran langsung. “Kalau live kan real time,” lanjut Hakim, yang kemudian disetujui oleh saksi.
Terdakwa menambahkan bahwa saksi hanya tergiring opini tanpa melihat langsung konten yang sebenarnya. “Saya menilai bapak saksi hanya tergiring dari aduan orang tanpa menengok langsung isi cerita dari video saya,” kata Ratu Entok.
Dalam persidangan, Hakim juga menyinggung kesaksian dari Dosma Sijabat. Terdakwa kembali membantah sebagian pernyataan saksi tersebut, terutama terkait klaim bahwa dirinya pernah berpindah keyakinan. “Saya tidak pernah jadi orang di luar Islam. Dari lahir hingga sekarang, saya Islam. Saudara Dosma juga sangat rapi menggiring opini, seolah-olah saya harus jadi terdakwa, harus di penjara,” ujarnya.
Hakim melanjutkan dengan bertanya mengenai interaksi terdakwa di media sosial. Terdakwa kembali menegaskan bahwa komentarnya hanya di kolom komentar, bukan melalui siaran langsung. “Benar yang mulia. Di dalam kolom komentar dan bukan live,” pungkasnya.
Martono, Ketua Umum Forum Kebhinekaan Indonesia Bersatu (FKIB), hadir sebagai saksi untuk memberikan keterangannya di hadapan majelis hakim.
Hakim memulai dengan menanyakan apa yang diketahui saksi terkait kasus ini. Martono menjelaskan bahwa pada 3 Oktober 2024, ia dimasukkan ke dalam sebuah grup WhatsApp bernama “Tangkap Ratu Entok”. Dalam grup tersebut, terdapat berbagai unggahan yang menimbulkan keresahan. Salah satu unggahan memuat komentar yang dinilai bernada penghinaan, seperti “Cukur rambutmu supaya seperti laki-laki, jangan seperti perempuan,” yang menurutnya memicu keributan di grup.
“Saya khawatir hal ini akan memancing tindakan yang tidak diinginkan terhadap terduga pembuat video tersebut. Karena itu, saya melaporkan situasi ini kepada Ketua FKIB di bidang hukum, Pak Thomson, agar dapat ditangani secara hukum,” ujar Martono.
Hakim Gali Informasi Konten Video
Hakim kemudian menanyakan isi dari video yang menjadi pusat perdebatan tersebut. Menurut Martono, video tersebut memuat gambar yang dianggap menyerupai Yesus Kristus, namun ia menekankan bahwa interpretasi atas unggahan tersebut tergantung pada pembuatnya. Konten itu telah tersebar luas di grup WhatsApp dan memicu reaksi emosional.
“Di grup itu sudah ramai. Banyak yang merasa tersinggung, khususnya umat Kristen. Karena itulah saya meminta Pak Thomson untuk segera membuat laporan ke polisi pada 4 Oktober 2024,” tambahnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Kuasa Hukum Gali Motivasi
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mempertanyakan apakah unggahan tersebut dapat memengaruhi emosi umat Kristen. Martono mengungkapkan bahwa percakapan di grup menunjukkan banyak pihak yang merasa tersulut emosi karena unggahan itu. “Ada yang ingin langsung bertindak menangkap terdakwa. Saya khawatir hal ini akan memicu tindakan anarkis, sehingga saya memilih menyalurkan masalah ini ke pihak berwenang agar diproses secara hukum,” jelasnya.

Sementara itu, kuasa hukum terdakwa menanyakan langkah-langkah yang diambil Martono untuk menjaga kerukunan umat beragama. Martono mengaku tidak sempat melakukan mediasi langsung dengan terdakwa karena situasi di grup WhatsApp sudah memanas dan waktunya sangat singkat. “Sebagai Ketua FKIB, tugas saya adalah menjaga stabilitas keamanan dan kerukunan. Namun, kondisi di grup sudah genting, sehingga saya fokus pada upaya hukum,” katanya.
Tanggapan Terdakwa
Terdakwa, pemilik akun “Ratu Entok Glow Skincare”, memberikan tanggapan atas keterangan saksi. Ia mempertanyakan tuduhan penghinaan yang dialamatkan kepadanya. “Bapak tadi berbicara terkait saya menghina, yang mana menghina-nya?” tanyanya. Martono menjawab bahwa reaksi umat di grup WhatsApp menunjukkan adanya rasa tersinggung terhadap unggahan terdakwa.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggali keterangan saksi-saksi Swangro Lumbanbatu dan Dedi Mauriz untuk menguatkan dakwaan terhadap terdakwa.
Dalam persidangan, saksi pertama menjelaskan bahwa ia melihat langsung video dari akun Ratu Entok Glow Skincare pada 2 Oktober 2024. Saksi menuturkan bahwa video tersebut berisi postingan yang dianggap merendahkan simbol agama tertentu. “Saya melihat langsung video itu di TikTok, mendownloadnya, dan meneliti foto yang ada dalam video tersebut. Foto itu merupakan gambar yang disakralkan oleh umat Kristiani, dengan ciri khas hati kudus Yesus,” ungkap saksi.
Saksi juga mengaku membuat video klarifikasi sebagai bentuk protes terhadap postingan tersebut. “Saya membuat video di TikTok untuk menyatakan keberatan dan meminta klarifikasi dari terdakwa,” jelasnya. Namun, klarifikasi yang diterima berupa pernyataan bahwa video tersebut telah diedit. “Saya tidak mempercayai bahwa video itu diedit karena saya mendownloadnya langsung,” tambahnya.
JPU kemudian menanyakan apa yang dianggap paling krusial dalam foto tersebut. Saksi menegaskan bahwa gambar tersebut adalah simbol sakral bagi umat Kristiani. “Di dalam foto itu terdapat ciri khas hati kudus Yesus, yang menjadi identitas sakral bagi kami,” katanya.
Saksi kedua, Swangro Lumbanbatu, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sumatera Utara, menyampaikan bahwa ia melaporkan kasus tersebut pada 4 Oktober 2024 setelah menonton video tersebut pada 2 Oktober. “Sebagai pimpinan organisasi, saya merasa perlu melaporkan karena video ini menyangkut harga diri umat Kristiani,” ujar Swangro.
JPU bertanya apakah ada langkah klarifikasi sebelum pelaporan. Swangro menjawab tidak ada. Namun, ia mengaku sempat berdiskusi dengan rekan-rekan organisasi terkait langkah yang akan diambil. “Kami menilai video ini melukai hati umat Kristiani, sehingga pelaporan adalah langkah yang tepat,” jelasnya.
Sidang kemudian membahas permintaan maaf yang disampaikan oleh terdakwa.
Saksi menjelaskan bahwa terdakwa sempat membuat video klarifikasi di TikTok dan melakukan siaran langsung. Namun, hal itu dianggap tidak cukup oleh saksi dan organisasi yang diwakilinya.
Sidang menghadirkan saksi Dedi Mauriz Simanjuntak dan Swangro yang memberikan kesaksian seputar tindakan terdakwa, termasuk klarifikasi dan permohonan maaf yang menjadi polemik.
Kuasa hukum Ratu Entok memulai dengan mempertanyakan pernyataan saksi yang mengindikasikan adanya ketidakkonsistenan terkait permintaan maaf terdakwa. “Saudara mengatakan terdakwa tidak ada permintaan maaf, tetapi kemudian menyebut ada permintaan maaf dan pembelaan. Jadi, maksudnya ada permintaan maaf atau tidak?” tanya kuasa hukum.
Saksi menjawab bahwa terdakwa sempat memberikan klarifikasi terkait sebuah video tanpa permohonan maaf secara khusus. Namun, saksi mengakui bahwa dalam perkembangan kasus, terdakwa akhirnya membuat permintaan maaf melalui siaran langsung di media sosial dengan kondisi yang tampak tertekan. “Seingat saya, terdakwa menyampaikan permohonan maaf di malam hari dalam kondisi yang terlihat emosional,” ungkapnya.
Video Ditampilkan di Persidangan
Kuasa hukum kemudian menayangkan sebuah video yang disebut sebagai bukti permintaan maaf terdakwa. Video tersebut ditinjau bersama oleh saksi, jaksa penuntut umum (JPU), kuasa hukum, dan majelis hakim. Ketika ditanya apakah video itu merupakan permintaan maaf yang dimaksud, saksi membenarkan.
“Benar, itu video permintaan maaf dengan tangisan di siaran langsung,” kata saksi.
Kuasa hukum juga menggali lebih dalam mengenai saksi yang aktif di media sosial. “Saudara bukan konten kreator, tetapi aktif di media sosial. Kapan saudara mengetahui adanya pengeditan video terdakwa?” tanya kuasa hukum. Saksi menjawab bahwa ia mengetahui video itu pada 2 Oktober setelah melihat unggahan terdakwa di TikTok.
Polemik Lambang Religius
Sidang juga menyoroti keberadaan lambang hati, salib, dan gambar religius dalam kasus ini. Kuasa hukum menanyakan pemahaman saksi terhadap lambang-lambang tersebut berdasarkan keyakinan agama Kristen Protestan. Saksi menegaskan bahwa simbol-simbol itu adalah hal yang dipercayai oleh umat Kristen.
Saksi juga menilai ucapan terdakwa terkait “cukur” sebagai bentuk penghinaan terhadap figur religius. “Saya sepakat bahwa itu dugaan penghinaan, terutama kepada figur yang kami hormati,” ujarnya.
Terdakwa Tanggapi Kesaksian
Dalam sidang, terdakwa menyanggah beberapa pernyataan saksi. Ia menyebut bahwa permintaan maafnya telah disampaikan secara tulus, termasuk melalui siaran langsung yang disertai tangisan. “Saya sudah meminta maaf dengan tulus. Kalau ada yang merasa kurang puas, saya ingin tahu syarat apa yang harus saya penuhi,” ucap terdakwa.
Hakim memutuskan bahwa persidangan akan dilanjutkan pada Kamis, 16 Januari 2025, dengan agenda mendengarkan keterangan lebih lanjut dari saksi dan terdakwa.
Usai persidangan yang berlangsung hari ini, Kuasa Hukum Ratu Entok, Wendy M. Tanjung, SH., MH., menyampaikan tanggapannya terkait agenda sidang pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam wawancara, Wendy mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap beberapa keterangan saksi yang dianggap kurang relevan dan tidak sesuai dengan fakta yang telah mereka sampaikan di pengadilan.
“Ya, jadi hari ini agendanya pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh JPU, tapi ada beberapa keterangan yang membuat kami tidak puas. Salah satu saksi dari JPU menyampaikan bahwa permohonan maaf Ratu tidak ada, atau bahwa permohonan maaf Ratu disertai pembelaan. Padahal, tadi kami tampilkan video permintaan maaf Ratu yang disampaikan dengan tulus sambil menangis, dan itu tidak dibantah oleh saksi yang dihadirkan JPU,” jelas Wendy.
Lebih lanjut, Wendy menegaskan keyakinannya bahwa kliennya tidak bersalah atas tuduhan penghinaan. “Sampai sekarang, kami masih meyakini bahwa klien kami tidak menghina. Tadi saya tanyakan kepada saksi mengenai foto dan hinaan, namun mereka tidak punya kepentingan untuk menjawab itu. Mungkin nanti saksi ahli yang akan kami tanyakan perihal apa patokan atau pedoman untuk menentukan apakah itu melanggar atau tidak,” tambahnya.
Senada dengan Wendy, Kuasa Hukum Ratu Entok lainnya, Suyanto, SH., turut mengkritisi keterangan yang diberikan saksi di persidangan. Ia menyebutkan bahwa keterangan yang disampaikan saksi fakta cenderung menyerupai pendapat saksi ahli, yang seharusnya tidak menjadi kewenangan mereka.
“Sesuai agenda kita tadi, ini kan pemeriksaan saksi fakta. Namun, setelah kami mengecek beberapa pertanyaan, ternyata jawaban mereka lebih seperti keterangan saksi ahli, padahal mereka hanya saksi fakta. Jika saksi fakta memberikan keterangan seperti saksi ahli, maka penjelasan mereka itu tidak memiliki kekuatan hukum,” ujar Suyanto.