Medan, kedannews.com – Wahana lingkungan hidup Indonesia ( WALHI) Sumut bersama LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Medan akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara atas twekait kasus PT NAN (Nuansa Alam Nusantara) diduga telah melakukan praktik eksploitasi satwa liar dilindungi secara illegal.
“Pengajuan banding harus dilakukan, karena apa yang dipertimbangkan dalam keputusan Hakim tingkat pertama mengandung kekeliruan nyata,” ujar Putra Saptian, Dony Latuparisa dari WALHI Sumut dan Alinafiah Matondang dari LBH Medan kepada wartawan, Jumat (5/11/2021) di Medan.
Alasan lain diajukan banding, lanjut Alinafiah, keputusan Hakim bukan keputusan yang tepat dan mengandung kekeliruan yang nyata, salah satunya melegalkan tindakan illegal dilakukan PT NAN. “Dalam persidangan, ada kesan bahwa majelis Hakim berpihak kepada pihak tergugat, karena diawal persidangan tergugat dua kali tidak hadir, dengan alasan tidak jelas, sehingga jalannya persidangan molor,” katanya.
Dony mengungkapkan, WALHI Sumut dan LBH Medan bersama para ahli, akademisi dan organisasi masyarakat sipil telah mengajukan gugatan ke PT NAN dengan tuduhan memelihara satwa endemik secara illegal sejak tahun 2017 hingga 2019. Gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan 1 April 2021 dengan nomor Reagiter perkara:9/Pdt.G/LH2021/PN Psp. Persidangan menghabiskan waktu sekira 216 hari atau 26 kali persidangan.
Dia menyebutkan, gugatan yang dilakukan WALHI Sumut dan LBH Medan yang pertama kali diajukan di Indonesia guna meminta agar korporasi bertanggung jawab atas tindakannya yang telah melakukan praktik eksploitasi satwa dilindungi secara illegal. “Gugatan ini sedehana, karena yang kita tuntut perusahaan bertangung jawab memperbaiki kerusakan yang mereka lakukan dan membayar kerugian negara akibat beroperasinya perusahaan tersebut,” katanya.
Namun putusannya, lanjut Dony, melalui persidangan 2 Nopember 2021 di PN Padangsidimpuan, Hakim memutuskan bahwa tindakan dilakukan PT NAN bukan perbuatan melawan hukum dan tidak inkonstitusional. Rasionalisasi Hakim menyatakan tindakan dilakukan perusahaan semata-mata hanya ingin menyelamatkan satwa dari kepunahan. “Alasan Hakim itu jelas keliru, karena PT NAN bukan lembaga konservasi atau pusat rehabilitasi yang memiliki otoritas/wewenang melakukan tindakan penyelamatan spesies yang dilindungi,” tandasnya.
Dalam hal ini, kata mereka lagi, WALHI Sumut dan LBH Medan menilai logika yang disampaikan Hakim telah keliru dalam memaknai tindakan dilakukan korporasi. Melihat sejak tahun 2017 hingga 2019, PT NAN telah nyata memelihara satwa dilundungi dan memisahkan satwa dengan ruang habitatnya tanpa izin lembaga konservasi, serta melwkukan aktivitas membuka wisata rekreasi kebun binatang secara komersil.
Dalam UU no 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya telah jelas menyatakan, setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
“Melihat aktivitas dilakukan PT NAN, tindakan itu sangat bertentangan dengan isi amanat UU no 5/1990. Terlebih lagi UU No 32/2009 menjelaskan, mereka yang sangat merusak lingkungan harus bertanggung jawab memperbaiki kerusakan. Pengadilan di Indonesia dan global telah mengakui hal ini dalam kasus polusi, deforentasi dan kasus kesehatan masyarakat,” ungkap Dony.
Ali menambahkan, putusan Hakim itu tentu memperpanjang rentetan catatan buruk bagi penegak hukum di Indonesia, dalam melakukan perlindungan dan penyelamatan terhadap satwa, aktivitas jual beli satwa, serta laju kerusakan lingkungan hidup semakin memperkuat posisi pelaku untuk lepas dari proses penegakan hukum. “Tentunya hal ini akan semakin memperparah kondisi ketimpangan struktur ekologis yang ada di Indonesia,”ungkapnya. (Cut)