Matahari sore mulai merunduk di balik bukit, menyisakan langit yang berwarna jingga kemerahan. Di ruang tamu rumah megah keluarga Lila, suasana berubah tegang. Lila duduk di kursi empuk dengan tangan yang sedikit gemetar, menatap ayah dan ibunya yang duduk berhadapan dengannya.
“Ibu, Ayah… aku ingin berbicara tentang Arga,” suara Lila lembut tapi penuh keberanian.
Ibunya menatap tajam, bibirnya mengepal. “Lila, kau tahu bagaimana keluarga kita. Kita sudah membangun segalanya dengan susah payah. Arga bukan dari kalangan kita. Dia… dia hanya seorang anak petani.”
Ayah Lila mengangguk perlahan, wajahnya serius. “Lila, aku tidak menentangmu karena tidak mencintai kamu, tapi aku khawatir masa depanmu. Kau pantas mendapatkan yang terbaik.”
Lila menunduk, air matanya mulai mengalir. “Tapi aku mencintainya, Ayah. Arga bukan hanya sekadar anak petani. Dia punya hati yang besar, dia pekerja keras. Aku percaya dia bisa mengubah nasib.”