Di kamar kontrakan kecil yang sempit dan berdebu, ia duduk menulis catatan. “Aku harus kerja keras. Aku harus bangkit. Aku ingin jadi orang yang bisa membanggakan Lila.”
Waktu berjalan lambat dan kadang menyakitkan. Ia melihat teman-temannya yang sudah lebih dahulu berhasil, tapi ia tak menyerah. Setiap kegagalan adalah pelajaran, setiap luka adalah penguat.
Suatu hari, dengan sedikit modal hasil tabungan dan pinjaman kecil dari teman, Arga membuka toko kelontong kecil di pinggir jalan. Toko itu jauh dari kemegahan, namun penuh harapan. Ia bangun dari pagi hingga malam, melayani pelanggan dengan senyum meski lelah.
Meski kecil, toko itu menjadi saksi perjuangan Arga. Ia belajar berbisnis, mengelola uang, dan mencari peluang baru. Ia terus menyisihkan keuntungan untuk modal usaha yang lebih besar.
Di tengah kesibukannya, ingatan pada Lila selalu hadir. Setiap malam, ia memandang bintang dari jendela kamar kontrakan, membayangkan wajah Lila yang selalu memberi kekuatan.