MEDAN, kedannews.co.id – Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bisa lumpuh total jika pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) terhambat. Hal ini disorot tajam oleh pengamat kebijakan publik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar, yang menilai peran Ketua DPRD sangat krusial dalam proses ini.
Pada Kamis (26/6), Shohibul menegaskan bahwa KUA PPAS merupakan fondasi awal dari seluruh proses penganggaran daerah. “Tanpa adanya kesepakatan KUA PPAS, maka Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tidak akan memiliki dasar hukum untuk menyusun rencana kerja dan anggaran. Ini seperti membangun rumah tanpa pondasi,” ujarnya kepada wartawan.
Menurut Shohibul, kebuntuan yang sering terjadi bukan karena alasan teknis, melainkan faktor psikologis dan politik yang lebih dominan. “Seringkali ini soal ego, ketidaksukaan pribadi, atau bahkan strategi menjatuhkan lawan politik. Tarik-menarik kepentingan antarfraksi juga bisa jadi penyebab,” terang Shohibul.
Ia menegaskan pentingnya komunikasi dua arah antara Kepala Daerah dan DPRD. “Kepala Daerah tidak bisa hanya menyerahkan draf lalu menunggu. Harus ada komunikasi intensif, persuasif, dan konstruktif,” jelasnya.
Risiko Kelumpuhan dan Sanksi Berat
Shohibul juga mengingatkan risiko serius jika pembahasan KUA PPAS terus dibiarkan mandek. “Seluruh proses APBD bisa tertunda, dan itu akan menghambat pembangunan serta pelayanan publik. Ini bukan masalah kecil,” tegasnya.
Berdasarkan Pasal 312 Ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, keterlambatan APBD bisa dikenakan sanksi administratif berupa penangguhan hak keuangan Kepala Daerah dan seluruh anggota DPRD selama enam bulan. “Artinya, gaji dan tunjangan mereka bisa dihentikan sementara. Ini sanksi yang nyata dan langsung,” ujarnya lagi.
Namun, ada pengecualian yang diatur dalam Ayat (3) pada pasal yang sama. “Jika pemerintah pusat memang mengatur penundaan jadwal karena alasan nasional, seperti bencana atau pandemi, maka sanksi bisa tidak diberlakukan. Tapi ini bukan untuk alasan politis lokal,” jelasnya.
Jika APBD tidak disahkan, maka daerah akan menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Namun ini, kata Shohibul, adalah opsi paling buruk. “Itu berarti tidak ada program baru, tidak ada inovasi. Pemerintah seperti terkungkung masa lalu,” katanya prihatin.
Intervensi Pemerintah Pusat dan Tekanan Publik
Jika kebuntuan terus terjadi, Shohibul menyebut intervensi dari pemerintah yang lebih tinggi bisa terjadi. “Gubernur atau bahkan Kemendagri bisa turun tangan. Tapi ini akan mencoreng wajah otonomi daerah,” jelasnya.
Tak hanya sanksi formal, masyarakat pun diyakini akan bersuara lantang. “Rakyat pasti akan meminta pertanggungjawaban. Ketika pembangunan macet karena ulah segelintir elite, maka Ketua DPRD dan partai politiknya harus siap menanggung konsekuensinya,” ujar Shohibul tajam.
Komunikasi dan Akuntabilitas Adalah Kunci
Shohibul menekankan bahwa APBD adalah produk kesepakatan bersama yang seharusnya dilandasi niat baik demi kepentingan rakyat. “Ini bukan soal gengsi atau ego, tapi amanat konstitusi. Jika niat baik ada, kesepakatan akan mudah dicapai,” pungkasnya.
Situasi ini menjadi perhatian serius di tengah makin dekatnya tenggat waktu penyusunan APBD. Masyarakat berharap pembahasan KUA PPAS bisa segera dilanjutkan agar roda pemerintahan dan pembangunan daerah tidak terganggu.