Medan, kedannews.com – Proyek pembangunan lima bangunan rest area di Jalan Medan-Binjai Km 10 menjadi sorotan setelah pengerjaannya diambil alih oleh kontraktor BUMN. Para vendor yang terlibat, termasuk Suramin, melayangkan protes karena penyelesaian kontrak dinilai tidak sesuai dengan kesepakatan awal.
Ridho Pamungkas, Kepala Kantor Wilayah I Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dalam wawancaranya pada Jumat, 27 September 2024, menjelaskan bahwa dalam kemitraan subkontraktor (subcon), KPPU akan mengawasi jika terdapat indikasi pelanggaran.
“Di kemitraan sudah ada beberapa pola, termasuk salah satunya subcon (sub kontraktor). Kalau pelaku usaha besar memutuskan secara sepihak atau mengingkari perjanjiannya, dan merugikan pihak kecil, hal tersebut bisa masuk ke dalam pengawasan KPPU. Kami akan melihat kontrak dan implementasinya, apakah ada praktik penguasaan yang merugikan pihak kecil,” jelas Ridho.
Protes Vendor: Somasi dan Ancaman Hukum
Suramin, salah satu vendor yang terlibat, menyatakan dalam somasi elektroniknya kepada PT Swakarsa dan PT HKI bahwa hingga saat ini penyelesaian kontrak belum juga dilakukan. Suramin memperingatkan bahwa jika somasinya diabaikan, ia akan mengambil tindakan hukum.
“Sampai saat ini, perhitungan pengerjaan pembangunan lima bangunan belum selesai, namun pekerjaan sudah diambil alih. Jika somasi saya tidak diindahkan, saya akan melakukan tindakan hukum selanjutnya,” ungkap Suramin.
Konflik Komitmen: PT Swakarsa vs PT HKI
Yudi TFK, Humas PT Swakarsa, mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap PT HKI yang terus mengubah komitmen terkait penyelesaian proyek, termasuk target penyelesaian lima bangunan prioritas.
“Awalnya, PT HKI mengatakan pekerjaan bisa selesai pada Februari 2025 asalkan lima bangunan prioritas siap. Namun, di bulan Agustus, target tersebut berubah menjadi dua bangunan saja yang harus siap,” ujar Yudi.
Ia juga menjelaskan bahwa bangunan prioritas, yaitu bangunan utama, masjid, toilet 1 dan 2, harus selesai pada Desember, sedangkan bangunan lainnya yang bukan prioritas diberi dispensasi hingga Januari tahun depan, dan aktif secara normal pada Februari.
Yudi juga menyoroti bahwa pekerjaan yang diambil alih PT HKI baru mencapai 15-20%, yang merupakan pekerjaan dasar yang telah diselesaikan oleh subkontraktor PT Swakarsa sebelum diambil alih oleh PT HKI.
“Sedangkan pekerjaan yang diambil alih PT HKI baru dikerjakan 15-20% dari pekerjaan dasar yang telah kami selesaikan sebelum akhirnya mereka ambil alih,” ungkapnya.
Yudi menambahkan bahwa PT HKI mengabaikan dampak sosial terhadap pekerja lokal dan malah menunjuk subkontraktor baru tanpa memeriksa pekerjaan yang sudah dilakukan.
Klarifikasi PT HKI
Menanggapi tuduhan tersebut, Alfin, Humas PT HKI, dalam keterangannya pada Jumat, 19 September 2024, menyebutkan bahwa masalah pembayaran vendor bukan berada di bawah wewenang mereka.
“Kalau masalah vendor-vendor yang belum dibayar, itu bukan urusan kami. Silakan hubungi PT Swakarsa,” tegas Alfin.
Tuntutan Keadilan dari Vendor
Suramin, salah satu vendor lainnya, mengajukan permohonan kepada KPPU dan Polda Sumut agar menyelidiki masalah ini. Ia menuntut keadilan karena upah kerja borongan belum dibayarkan.
“Kami mohon kepada Ketua KPPU agar memeriksa proyek rest area Helvetia Sei Semayang, karena upah kerja borongan kami belum dibayarkan,” ujar Suramin.
Tuntutan ini menambah panjang daftar masalah yang terjadi dalam proyek pembangunan rest area ini, yang diduga melibatkan ketidakadilan kontrak serta pengabaian dampak sosial bagi pekerja lokal.