Berita Utama & HeadlineHukum & Kriminal

Warga Veteran Hadapi Penundaan Sidang Tanah: PT United Orta Berjaya Gagal Buktikan Hak

6
×

Warga Veteran Hadapi Penundaan Sidang Tanah: PT United Orta Berjaya Gagal Buktikan Hak

Sebarkan artikel ini
Bersama warga Komplek Veteran dan Para Penasehat Hukum STM MH, Nashril Haq Lubis, SH dan Dr (c) Mikrot Siregar, SH., MH saat diwawancarai di PN Lubuk Pakam, Kamis (22/08/2024) pagi. (kedannews.com/Aris HST Sinurat).
Bersama warga Komplek Veteran dan Para Penasehat Hukum STM MH, Nashril Haq Lubis, SH dan Dr (c) Mikrot Siregar, SH., MH saat diwawancarai di PN Lubuk Pakam, Kamis (22/08/2024) pagi. (kedannews.com/Aris HST Sinurat).

Deli Serdang, kedannews.com – Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Kelas 1A menunda sidang Sita Eksekusi yang dijadwalkan pada Kamis, 22 Agustus 2024. Penundaan ini disebabkan oleh ketidakmampuan pihak PT United Orta Berjaya untuk menunjukkan surat kuasa yang sah. Sidang yang terkait dengan gugatan PT United Orta Berjaya terhadap STM MH (Serikat Tolong Menolong Mempertahankan Hak) dengan nomor perkara 242 tahun 2020 ini akan dilanjutkan pada minggu depan.

Suasana sidang Sita Eksekusi di Ruangan 4 di PN Lubuk Pakam, Kamis (22/08/2024) pagi. (kedannews..com/Aris HST Sinurat).
Suasana sidang Sita Eksekusi di Ruangan 4 di PN Lubuk Pakam, Kamis (22/08/2024) pagi. (kedannews..com/Aris HST Sinurat).

Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Morailam Purba bersama Hakim Anggota Iman Budi Putra Nur dan Dewi Andriani, serta Panitera Ripka Ginting, dihadiri oleh puluhan warga veteran. Penasehat Hukum STM MH, Dr (c) Mikrot Siregar, SH., MH, serta Nashril Haq Lubis, SH bersama timnya, dan Penasehat Hukum Warga Komplek Veteran Abdul Rahman Batubara, SH, CPM, juga hadir dalam persidangan. Namun, pihak PT United Orta Berjaya belum dapat menunjukkan surat kuasa yang diperlukan untuk melanjutkan proses.

Sita Eksekusi ini berkaitan dengan lahan seluas 11 hektar di Komplek Perumahan LVRI (Veteran) yang berlokasi di Pasar IV Medan Estate, Kecamatan Percut Seituan, Deliserdang. Meskipun pengadilan pada 1 Agustus lalu telah membacakan putusan Sita Eksekusi, para warga belum diminta untuk mengosongkan lahan tersebut.

Usai persidangan, pada wawancaranya, James Sitohang, seorang warga kompleks Veteran yang juga keturunan Veteran, memberikan penjelasan bahwa mereka telah menempati rumah tersebut sejak puluhan tahun.

James Sitohang mengungkapkan, “Kami dari pihak masyarakat Kompleks Veteran ingin menegaskan bahwa kami sudah puluhan tahun tinggal di sini tanpa masalah hukum. Kami memiliki SK Camat yang sah sebagai bukti hak kami atas tanah ini.” Ia menambahkan, “HGB (Hak Guna Bangunan) yang ada sudah tidak berlaku lagi karena SK Camat terbit lebih dulu, yaitu pada tahun 1984, sedangkan HGB terbit tahun 1987 dan telah mati di tahun 2007.”

Menurut James, masalah muncul ketika HGB tersebut, meski sudah mati, diperjualbelikan. “Mereka menggunakan dasar HGB yang sudah mati untuk mengeksekusi kami, padahal itu tidak bisa diterima secara hukum. Kami berharap keadilan ditegakkan dan pemerintah serta aparat penegak hukum memberikan perhatian lebih pada kami sebagai masyarakat kecil,” tegasnya.

Listeria, warga lain dari Kompleks Veteran yang juga masih keturunan Veteran, juga memberikan keterangan serupa. Ia menjelaskan, “Kami memperoleh tanah ini melalui pelepasan dari PTP (PT Perkebunan) berdasarkan permohonan para veteran kepada pemerintah melalui Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Kami memiliki surat pelepasan serta SK Mendagri dan Gubernur dari tahun 1982.” Listeria menegaskan bahwa tanah tersebut dialokasikan untuk veteran dan purnawirawan ABRI.

Edi Sahputra, seorang warga lainnya, menambahkan, “Selama ini kami tidak pernah digugat terkait kepemilikan tanah. Yang digugat adalah STM MH, yang sebenarnya tidak berbadan hukum dan tidak memiliki lahan. STM MH (Serikat Tolong Menolong MH) hanya menjalankan kegiatan sosial.”

Warga Kompleks Veteran berharap agar pihak-pihak terkait memperhatikan situasi mereka dan memastikan bahwa hak-hak mereka tidak diabaikan. Mereka meminta agar pemerintah dan publik memahami kondisi mereka dan memberikan perhatian yang sepatutnya agar keadilan bisa ditegakkan.

Dengan situasi yang semakin kompleks, masyarakat berharap ada solusi yang adil dan mempertimbangkan hak-hak mereka yang telah lama mereka pertahankan.

Selanjutnya pada wawancara Nashril Haq Lubis, SH, memberikan keterangan mengenai sidang pertama yang seharusnya digelar untuk bantahan terhadap eksekusi tanah yang dilakukan oleh pengadilan. Sidang ini telah diregister dengan Nomor Perkara 443/Pdt.Bth/2024/PN.Lbp. Nashril menjelaskan, “Hari ini seharusnya adalah sidang pertama untuk bantahan atau perlawanan yang kami lakukan. Bantahan ini dilakukan terhadap sita eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan terhadap tanah klien kami. Klien kami selama ini tidak pernah digugat dalam perkara tersebut.”

Nashril menyatakan bahwa tanah yang disita hari ini adalah milik kliennya, yang menyebabkan mereka mengajukan perlawanan. “Perlawanan atau bantahan ini kami dasarkan pada alas hak yang kami miliki dan sejarah kepemilikan tanah tersebut sejak tahun 1980. Kami merasa heran karena putusan nomor 242 justru menghukum STM MH, bukan para pelawan atau pembantah yang hadir hari ini,” ungkap Nashril. Ia menambahkan, “Namun, eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan malah terhadap tanah kami.”

Nashril menambahkan bahwa secara hukum mereka memiliki legalitas untuk melakukan bantahan ini. “Kami sudah mendaftarkan perlawanan ini dan seharusnya sidang pertama dilaksanakan hari ini. Namun, pihak PT belum bisa menunjukkan surat kuasanya, sehingga persidangan ditunda hingga minggu depan,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa pihak yang menjadi lawan mereka adalah PT United Orta Berjaya. “Sebenarnya, dalam putusan ini, PT ini sudah sering beralih dari satu PT ke PT lainnya. Kami juga memiliki putusan yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki legal standing lagi untuk menggugat. Dalam putusan 125 tahun 2010, jual beli yang dilakukan oleh PT tersebut sudah dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum,” papar Nashril.

Ia melanjutkan, “Namun, herannya, putusan 242 justru menyatakan jual beli itu sah. Padahal, dalam putusan 125 sudah jelas dinyatakan bahwa mereka tidak memiliki legal standing karena jual beli dilakukan setelah HGB mati. Kami juga melihat bahwa PT ini tidak pernah menguasai tanah tersebut, yang selama ini dikuasai oleh masyarakat.”

Nashril mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan 242. “Kami merasa miris dengan putusan ini karena PT. UOB (United Orta Berjaya) tersebut memang tidak pernah menguasai tanah. Ada juga pernyataan dalam putusan yang membuat kami bingung, yaitu tentang prioritas yang diberikan, padahal secara hukum memprioritaskan perpanjangan HGB hanya jika tanah tersebut dikuasai.”

Ia menegaskan, “Kami akan membuktikan bantahan perlawanan kami dalam persidangan nanti, mulai dari sejarah kepemilikan tanah sejak tahun 1980. Kami juga akan menunjukkan surat-surat yang dikeluarkan oleh gubernur dan menteri yang ditujukan kepada para pelawan atau veteran, yang kemudian membagi tanah tersebut kepada masyarakat.”

Harapan Nashril ke depan adalah agar persidangan dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. “Kami memohon keadilan kepada pengadilan dan berharap agar eksekusi terhadap tanah tersebut tidak dilakukan sebelum ada keputusan hukum yang tetap mengenai bantahan kami. Dalam petitum kami, kami meminta agar sita eksekusi dibatalkan dan tanah dikembalikan kepada masyarakat,” pungkasnya.

Kemudian dalam wawancaranya, Mikrot Siregar, SH., MH, mengungkapkan kekecewaannya yang mana agustus adalah bulan yang penuh makna bagi bangsa Indonesia, namun kali ini, bulan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, bagi masyarakat yang notabenenya keturunan veteran atau pejuang, hari ini masih berjuang mempertahankan haknya.

Menurut Mikrot, “Bulan Agustus ini seharusnya menjadi bulan Barokah bagi negara kita. Kita seharusnya merayakan hari ulang tahun kemerdekaan dengan penuh sukacita dan kebanggaan. Namun, faktanya, masyarakat kita, yang notabene adalah keturunan veteran dan pejuang yang telah mengusir penjajah, kini harus menghadapi tantangan baru di bulan kemerdekaan ini.”

Ia menjelaskan, “Mereka harus berduka cita karena kini mereka kembali harus berjuang melawan ‘penjajah’ yang bukan dari negara luar, tetapi dari dalam negeri sendiri, yakni mafia-mafia tanah.”

Lebih lanjut, Mikrot menyoroti upaya hukum yang telah dilakukan oleh masyarakat. “Kami telah melakukan perlawanan dan bantahan di pengadilan negeri Lubuk Pakam. Kami berharap seluruh masyarakat Indonesia, termasuk rekan-rekan media, untuk ikut serta dalam mengawasi dan mendampingi proses peradilan ini. Kita perlu memastikan bahwa keadilan dan kepastian hukum dapat diperoleh oleh masyarakat.”

Dengan harapan agar kasus ini mendapat perhatian yang pantas dan proses hukum berjalan dengan transparan, Mikrot menegaskan pentingnya dukungan publik dalam menghadapi masalah yang ada.

“Melalui keterlibatan aktif dan pemantauan yang ketat dari semua pihak, kita bisa memastikan bahwa perjuangan ini tidak sia-sia dan masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *