Dika tak pernah menyangka malam itu akan mengubah hidupnya. Pasar malam yang biasanya riuh justru terasa berbeda—udara lebih dingin, lampu-lampu berpendar lebih redup, dan suara orang-orang terdengar seperti bisikan samar.
Ia berjalan bersama Raka, sahabatnya, menyusuri deretan kios. Namun, matanya tertuju pada sebuah sudut gelap yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Di sana berdiri sebuah kios tua dengan papan kayu usang, nyaris roboh.
“Hei, kios itu baru ada, ya?” bisik Raka.
Dika tak menjawab. Matanya terpaku pada sepasang sepatu merah yang bersinar redup di atas meja. Di belakangnya, seorang kakek tua berambut putih tersenyum tipis.
“Maukah kau memilikinya?” suara si kakek terdengar lebih dalam dari yang seharusnya.
Dika menelan ludah. “Berapa harganya?”
Kakek itu tertawa pelan. “Sepatu ini tidak butuh harga. Hanya satu syarat—begitu kau memakainya, kau harus terus berlari. Jangan pernah berhenti.”
Dika merasa bulu kuduknya meremang, tapi entah kenapa tangannya sudah mengambil sepatu itu. Begitu ia berkedip, kios itu menghilang.
Malam itu, di halaman rumah, Dika mencoba sepatunya. Begitu talinya terikat…
“Wuusshh!”
Ia melesat seperti bayangan. Pohon-pohon di pinggir jalan hanya terlihat seperti garis-garis buram. Ia berlari, lebih cepat dari yang pernah ia bayangkan.
Namun, ada yang aneh.
Ia tak bisa berhenti.