Eddy mengatakan, yang harus dipahami masyarakat bahwa putusan vonis mati Ferdy Sambo itu belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Artinya ada upaya banding, ada kasasi bahkan kecenderungan akan melakukan Peninjauan Kembali (PK). Mahkamah Konstitusi menyebutkan PK bisa dilakukan lebih dari satu kali, tidak ada batasan.
“Tidak ada batasan berapa kali orang boleh melakukan Peninjauan Kembali. Ketika seorang terpidana mati melakukan Peninjauan Kembali atas putusannya yang belum berkekuatan hukum tetap, Itu sebagai satu alasan menunda eksekusi. Kalau tidak ada batasan bisa dilakukan berkali-kali,” kata Eddy Hiariej.
Kalau seandainya waktu berjalan sampai KUHP Nasional berlaku berdasarkan pasal 3 KUHP Nasional, terperiksa, terlapor, tersangka, terdakwa, terpidana harus digunakan aturan yang lebih menguntungkan karena terjadi perubahan peraturan perundang-undangan.
“Yang dipakai KUHP Nasional dengan percobaan sepuluh tahun penjara dilihat kalau berkelakuan baik diubah menjadi penjara seumur hidup atau hukuman sementara dua puluh tahun penjara. Kalau kelakuan dalam penjara tidak baik, eksekusi dilakukan,”kata Eddy Hiariej.
Berkaitan dengan munculnya kekhawatiran dan pertanyaan publik terkait hukuman percobaan 10 tahun penjara bagi terpidana mati, apakah berpotensi terjadi jual beli surat kelakuan baik oleh kepala lembaga pemasyarakatan.
“Kalau pikiran kotor, berprasangka buruk, apriori maka sebetulnya aturan apapun berpotensi kriminogen. Tetapi kita berpikir normatif, berpikir wajar-wajar saja. Kelakuan baik terhadap seorang terpidana mati penilaian nanti tidak hanya oleh petugas Lapas, “kata Eddy Hiariej.