Medan, kedannews.com – Sekretaris Komisi B DPRD Sumut Ahmad Hadian menilai, program BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang disalurkan pemerintah untuk memulihkan perekonomian dan pengentasan kemiskinan kurang tepat, karena program itu hanya solusi teknis dan ibarat ‘pemadam kebakaran’.
Penilaian ini diungkapkan Ahmad Hadian dalam dialog interaktif acara Sumut menyapa, Senin (18/4/2022) bersama nara sumber lainnya seperti Manna Wasalwa (Kadis Sosial Provsu) dan Muhammad Ichsan (Kabis Penanggulangan Kemiskinan Dinsos Provsu).
” BLT ini tidak ubahnya seperti pemadam kebakaran. Kalau airnya tak cukup tidak bisa menjangkau sumber apinya. Harusnya pemerintah punya solusi strategis bukan teknis. Mungkin untuk solusi jangka pendek bisa, tapi menjadi pertanyaan sampai kapan program BLT ini akan berjalan,” tanyanya.
Pokok permasalahannya yang harus dientaskan, lanjut Hadian, harga kebutuhan bergerak naik, seperti harga migor mahal, harga gas mahal, harga pupuk mahal. Harusnya pemerintah mencari tahu penyebabnya. “Kalau sudah tahu diberesin. Saya yakin kalau harga-harga kembali normal tidak perlu BLT-BLTan. Daya beli masyarakat dengan sendirinya akan membaik, karena mereka bisa kembali berusaha mikro. Kalau saat ini kan dengan segala nya serba mahal, mau usaha apa mereka,” katanya.
Menurutnya, pemerintah harus punya target sampai kapan program BLT akan dijalankan dan tidak boleh selamanya. BLT harusnya sekadar crash program sifatnya temporer. Sambil membantu daya beli rakyat dengan BLT, pemerintah jangan lupa benahi akar permasalahannya. Rakyat juga jangan terlena dengan BLT, kemudian bungkam dan melupakan permasalahan inti dari carut marutnya perekonomian bangsa.
Terkait pembagian BLT tidak tepat sasaran, Sekretaris FPKS DPRD Sumut ini mengatakan, masalah intinya pada DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang ada di Kemensos RI. Data ini sepertinya sulit sekali diapdet, padahal para Kades secara periodik diminta meng apdet data, namun info dari lapangan data yang turun itu-itu juga nama-namanya. Mungkin solusi alternatifnya, berbagilah kewenangan antara Kemensos RI dengan Pemda.
“Untuk pendataan, perivikasi dan monevnya serahkan saja ke Pemda agar mereka bisa langsung menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Kalau semua dikooptasi pemerintan pusat kan berat. Ada 34 provinsi dan sekian ratus kabupaten kota, datanya berapa. Sumut saja DTKSnya ada 2,1 juta KK. Kita tahu ada 3 jenis bantuan yang semuanya dikuasai pusat, mungkin karena sumber dana nya dari APBN. Coba berbagi dengan daerah melalui DAU misalnya, agar pemda juga kreatif dan realistis dalam mengelolanya dan DPRD yang akan mengawasinya,” katanya.
Disinggung kemungkinan terjadi penyimpangan bansos (bantuan spsial), menurut politisi PKS ini, ada 2 hal penyebabnya. Yaitu selain ketidaktegasan, juga harusnya pemerintah tegas saja, kan kriterianya jelas, siapa yang berhak menerima dan yang tidak berhak harus ditegakkan aturannya. “Kalau ada masyarakat tadinya tidak mampu, lalu setelah sekian lama menerima bansos dan ekonominya sudah meningkat, distop bansosnya alihkan kepada yang lebih berhak. Dalam hal ini perlu dibuat aturannya kalau belum ada, publikasikan secara terbuka ke masyarakat,” tegasnya. Kedua, sikap mental masyarakat kita memang masih seperti ini, masih banyak yang suka menerima bantuan padahal dia mampu. Merubahnya bukan gampang, tapi ini PR (Pekerjaan Rumah) kita semua.
Penulis: Cut Riri
Editor: Cut Riri